Dipromosikan karena Dekat, Dipecat karena tidak Seirama

Oct 17, 2025 4 Min Read
Pria Mengemasi Barang Di Kantor
Sumber:

ANTONI SHKRABA production, Pexels

Dalam dunia kerja, sering kita mendengar cerita karyawan yang dipecat karena “tidak cocok” dengan atasannya.  Bukan karena kinerjanya buruk, bukan pula karena tidak memiliki kompetensi, melainkan karena dianggap tidak berada pada frekuensi yang sama. Istilah ini sangat fleksibel dan sering kali digunakan sebagai alasan untuk menyingkirkan seseorang yang sesungguhnya bekerja dengan baik, tetapi tidak sesuai dengan preferensi pribadi pimpinan.

Ironisnya, banyak perusahaan berbicara tentang meritokrasi, objektivitas, dan sistem berbasis kinerja. Namun, di balik layar, banyak keputusan karier justru ditentukan oleh faktor yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan hasil kerja.

Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi?

Bekerja Baik, Tapi Tidak Disukai: Dosa Besar di Dunia Kerja?

Mari kita ilustrasikan kasusnya.

Seorang karyawan, sebut saja Inda, adalah tipe pekerja yang rapi, sistematis, dan efisien. Ia selalu mencapai target, menyelesaikan tugas dengan baik, bahkan sering kali memberikan solusi untuk memperbaiki sistem kerja yang tidak efektif.

Baca Juga: Langkah Awal Membangun Kebiasaan Kepemimpinan yang Efektif

Namun, ada satu hal yang dianggap “kurang” dari dirinya. Inda tidak pandai membangun kedekatan emosional dengan atasannya. Ia tidak ikut berkumpul setelah jam kerja, tidak ikut terlibat dalam percakapan ringan tentang gosip kantor, dan tidak selalu menyetujui setiap keputusan atasan tanpa pertimbangan kritis.

Inda bukan orang yang suka basa-basi. Ia lebih memilih memberikan hasil nyata daripada mencari perhatian atasan. Ia tidak berpura-pura untuk menyenangkan hati pimpinan demi citra baik. Namun bagi sebagian pemimpin, loyalitas dan kepatuhan tanpa syarat dianggap lebih penting daripada kompetensi dan integritas.

Akibatnya?

Inda dinilai tidak sejalan dengan budaya tim, dianggap kurang memiliki “chemistry,” dan akhirnya tidak diperpanjang kontraknya.

Akar Masalah: Kepemimpinan Berbasis Preferensi Pribadi, Bukan Kinerja

Kenapa hal seperti ini terjadi? Ada beberapa alasan utama:

1. Banyak Pemimpin Masih Memprioritaskan Kenyamanan Pribadi di Atas Performa

Alih-alih memilih tim yang kompeten, beberapa pemimpin lebih memilih orang yang bisa membuat mereka nyaman. Mereka lebih suka dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mengiyakan semua keputusannya tanpa mempertanyakan apapun.

Dalam budaya seperti ini, keberanian untuk memberikan perspektif berbeda dianggap sebagai ancaman. Orang yang terlalu vokal, terlalu mandiri, atau terlalu fokus pada efisiensi justru dianggap “tidak cocok dengan budaya perusahaan.”

Padahal, organisasi yang sehat justru membutuhkan orang-orang yang berani mengemukakan pendapat dan memberikan sudut pandang baru, bukan sekadar pengikut yang hanya setuju tanpa berpikir panjang.

2. Kepemimpinan Berbasis Emosi, Bukan Data

Idealnya, keputusan terkait karyawan harus didasarkan pada data: performa kerja, kontribusi nyata, dan dampak yang diberikan kepada perusahaan.

Namun dalam banyak kasus, pemecatan justru dipicu oleh alasan yang sangat subjektif. Beberapa pemimpin membuat keputusan hanya berdasarkan perasaan pribadi, bukan fakta.

“Dia sepertinya kurang cocok.”

“Saya tidak tahu mengapa, tapi rasanya ada yang tidak pas.”

“Saya lebih nyaman bekerja dengan orang lain.”

Dalam dunia profesional, evaluasi seharusnya berfokus pada hasil kerja, bukan pada perasaan pribadi pemimpin terhadap individu tertentu. Sayangnya, masih banyak keputusan penting yang diambil berdasarkan intuisi semata, bukan metrik yang terukur.

3. Manajemen yang Tidak Dapat Membedakan Profesionalisme dan Kecocokan Personal

Seorang karyawan yang tidak sering bercanda dengan atasannya bukan berarti dia tidak profesional. Seorang karyawan yang tidak suka berbasa-basi di grup WhatsApp kantor bukan berarti dia tidak loyal.

Sayangnya, banyak pemimpin masih gagal membedakan antara dua hal penting ini:

  • Karyawan yang memang tidak kompeten dan bermasalah.
  • Karyawan yang hanya memiliki gaya komunikasi dan kepribadian yang berbeda.

Perusahaan seharusnya menilai berdasarkan hasil kerja dan kontribusi nyata, bukan seberapa sering seseorang ikut makan siang bersama atasan atau berpartisipasi dalam percakapan ringan.

Baca Juga: Strategi Mengatasi Sumbatan Komunikasi di Tempat Kerja

Apa Dampaknya?

Ketika orang-orang seperti Inda disingkirkan hanya karena dianggap “tidak cocok,” siapa yang akhirnya bertahan?

1. Orang-orang yang lebih peduli pada hubungan sosial daripada performa kerja.

2. Para yes-men yang hanya mengikuti perintah tanpa pemikiran kritis.

3. Tim yang tidak berani menyampaikan pendapat karena takut dianggap tidak sejalan.

Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi merugikan perusahaan. Ketika organisasi lebih memprioritaskan kenyamanan pribadi pimpinan daripada hasil kerja nyata, maka perusahaan akan kehilangan talenta terbaiknya.

Solusi: Bagaimana Seharusnya Perusahaan Bersikap?

Untuk menghindari kejadian seperti ini, perusahaan perlu mengambil langkah yang tegas dan terukur.

1. Gunakan Data sebagai Dasar Evaluasi Karyawan

Penilaian karyawan harus berbasis data dan fakta, bukan perasaan subjektif atasan. Jika seseorang dianggap "tidak cocok," harus ada bukti konkret yang mendukung.

  • Apakah targetnya tidak tercapai?
  • Apakah ada laporan dari rekan kerja yang terganggu dengan kinerjanya?
  • Apakah ada indikator lain yang membuktikan bahwa dia tidak efektif?

Jika tidak ada bukti kuat, maka keputusan pemecatan hanya didasarkan pada preferensi pribadi, bukan alasan profesional.

2. Pemimpin Harus Belajar Memisahkan Urusan Personal dan Profesional

Seorang pemimpin yang matang tidak akan memecat orang hanya karena memiliki gaya komunikasi yang berbeda. Kepemimpinan yang dewasa adalah tentang menerima keberagaman dalam tim dan memahami bahwa setiap individu memiliki karakter serta cara kerja tersendiri.

Pemimpin yang hanya ingin bekerja dengan orang-orang yang "mirip" dengannya sebenarnya belum siap memimpin tim yang sesungguhnya.

3. Bangun Budaya Kerja yang Menghargai Kinerja, Bukan Kedekatan Personal

Perusahaan harus memastikan bahwa lingkungan kerja berbasis pada prestasi dan kontribusi nyata. Jangan biarkan kedekatan personal menjadi faktor utama dalam keputusan promosi atau pemecatan.

Sistem evaluasi harus dibuat transparan agar setiap karyawan merasa dinilai secara adil, terlepas dari seberapa sering mereka berinteraksi dengan atasan.

Kesimpulan: Jika Tak Bisa Menilai dengan Adil, Jangan Jadi Pemimpin

Tidak ada yang salah dengan memiliki preferensi pribadi dalam membangun tim. Namun, ketika preferensi tersebut mulai menggantikan objektivitas dan keadilan dalam mengambil keputusan, maka yang terjadi adalah kepemimpinan yang buruk.

Memecat seseorang hanya karena “tidak sefrekuensi” adalah tanda ketidakdewasaan dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati tahu bahwa yang terpenting bukanlah siapa yang paling sering bercanda dengannya, tetapi siapa yang benar-benar memberikan dampak bagi perusahaan.

Pada akhirnya, perusahaan yang sukses bukanlah perusahaan yang diisi oleh orang-orang yang kompeten, berdedikasi, dan memiliki integritas, bukan hanya oleh mereka yang “klop” dengan atasan. Jika perusahaan lebih memilih keseragaman daripada kompetensi, maka yang menunggu di depan bukan kemajuan, melainkan kemunduran.

Share artikel ini

Alt

Hendra menerjemahkan tujuan bisnis menjadi strategi SDM yang efektif dan berfokus pada kinerja. Dengan perpaduan empati dan analisis strategis, ia membantu perusahaan membangun budaya kerja yang produktif dan berorientasi pada manusia.

Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

3 Orang Pekerja Dengan Papan Lambang X

3 Kesalahan Rahasia yang Dilakukan Pemimpin

Artikel ditulis oleh : Dan Rockwell. 3 Kesalahan Rahasia yang Dilakukan Pemimpin

Nov 08, 2022 2 Min Read

Ilmu Kepemimpinan Ala Samurai

Ilmu Kepemimpinan Ala Samurai

Kira-kira, bagaimana kita bisa mengaplikasikan ilmu kepemimpinan ala samurai dalam kehidupan sehari-hari? Simak pembahasan lengkapnya pada livestream berikut ini! \

Jan 25, 2022 36 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest